Minggu, 14 Juni 2009

KLISE

Dalam dunia fotographi kuno hanya dikenal klise tanpa pewarnaan. Klise terdiri dari dua warna jika telah dicetak menjadi lembaran-lembaran foto. Dengan sebutan negative, klise untuk foto hitam putih akan terlihat berbalik dari hasil cetaknya. Jika dalam foto berwarna hitam maka pada klise terlihat putih transparan. Dan sebaliknya bila di dalam foto berwarna putih maka pada klise terlhat hitam.


 

Seiring dengan perkembangan dunia fotographi, akhirnya ditemukan pula proses pewarnaan pada foto. Klise yang digunakan dalam foto warna memiliki tekhnik pencetakan terhadap kertas warna berbeda dengan foto hitam putih. Proses pencetakan foto warna sedikit lebih rumit dari cetak foto hitam putih.


 

Sama halnya foto hitam putih, foto warna sebelum era digital juga menggunakan klise. Klise pada foto warna yang disebut negatif juga memiliki perpaduan warna yang bertolak belakang dengan hasil foto pada hasil cetaknya. Tehknik pencetakan foto warna adalah perpaduan filter warna yang terdiri dari tiga warna, yaitu Cyan, Magenta dan Yellow.


 

Disamping negatif, dalam tekhnik foto celluloid ini juga ada istilah positif filem. Klise yang disebut sebagai positif terlihat real seperti hasil cetakan foto yang langsung bisa dilihat. Karena warnanya tidak terbalik.


 

Positif filem seringkali digunakan untuk pembuatan filem layar lebar daripada untuk kebutuhan cetak foto warna, di samping memiliki harga yang relatif mahal tehnik pemotretan dengan positif filem secara tekhnis lebih rumit.


 

Dengan adanya perkembangan teknologi digital yang sangat pesat akhirnya muncullah pembuatan foto dan video atau filem dengan tehknik digital. Teknologi digital terkini meramu ribuan warna untuk membentuk sebuah foto. Era digital telah melupakan manusia dari kata "KLISE" itu sendiri. Kalau dulu mungkin kita pernah mendengar orang mengatakan, "Wah, cerita dalam novel anu terlalu klise!"


 

Kata klise dalam kalimat tersebut menggambarkan isi cerita novel anu tadi terlalu kuno dan mengedepankan kehidupan yang diisi oleh hitam dan putih, dimana hitam menggambarkan kejahatan dan putih mengambarkan kebaikan. Secara klasik putih akan selalu mengalahkan si hitam pada akhir ceritanya.


 

Dari perkembangan era klise yang hitam putih ke klise warna kemudian menjadi digital dapat kita bayangkan bahwa kehidupan manusia semakin hari semakin rumit.


 

Permasalahan yang dulu hanya antara hitam dan putih, kemudian ada foto warna yang diramu dari 3 jenis warna lalu berkembang lagi dalam ribuan warna pada era digital yang sangat kompleks.


 

Begitulah kehidupan manusia terus berkembang komplit bersama segala permasalahannya.


 

Pernakah anda memperhatikan filem Indonesia atau Sinetron Indonesia? Lalu pernahkah membandingkannya dengan produksi filem dari luar negeri?

Setujukah anda jika saya mengatakan bahwa filem Indonesia atau sinetron-sinetron Indonesia hanya hasil kreatifititas dengan hayalan yang kuno alias klise?


 

Saya berpendapat demikian karena hampir semua kisah yang ada hanya tentang hitam dan putih. Selalu saja ceritanya tentang perlawanan si baik (putih) dengan si jahat (hitam). Perjalanan cerita melelahkan pada sinetron bersambung yang dalam proses pembuatannya selalu kejar tayang itu sebenarnya memiliki cerita serupa tapi tak sama antara judul yang satu dengan yang lain.


 

Kebanyakan, di awal kisah si baik dijaili oleh si jahat. Lalu ada tokoh penengah yang netral dan pada akhirnya tokoh hitam (antagonis) akan dikalahkan oleh si tokoh baik (putih).


 

Dalam cerita-cerita itu selalu menggambarkan bahwa si baik (putih) adalah tokoh yang sangat lembut dan sangat baik hati serta selalu mengalah ditambah taat dalam beribadah. Dan si jahat (hitam) selalu digambarkan sebagai orang yang perangainya selalu buruk dan tidak bisa berbuat baik barang sedikitpun.


 

Itulah gambaran cerita rata-rata yang ada dalam dunia perfileman dan pesinetronan di Indonesia. Terlalu klise dan kuno, padahal kita tahu bahwa sebenarnya tekhnik pembuatannya pun sudah tidak bisa dibilang kuno.


 

Tidak bisakah para pekerja filem dan sinetron itu membuat cerita yang lebih bermutu dan penuh warna seperti perkembangan teknik digital fotographi yang penuh warna?

12 komentar:

arines mengatakan...

standar mutu sinetron dan film itu yang bagaimana ya ??

DUNIA POLAR mengatakan...

tapi masa apapun itu, kita harus menghargainya coz sangat sulit membuat film

sukarnosuryatmojo mengatakan...

untuk mengamati suatu klise harus ditrawang pada cahaya... yg nampak putih akan kecetak hitam, sdgkan yg nampak hitam akan kecetak putih...

J O N K mengatakan...

bener seperti itu, jadi makin banyak yang membosankan

mudah2han perfilm-man indonesia terus menerus berinovasi ...

riosisemut mengatakan...

Hehee... jd inget photo-photo jaman dulu, blm ada digital.

Co, mbok gak usah pake veripikasi kata, knapa.

JengSRI.Com mengatakan...

mau jadi photographer ya bang?

sugiman mengatakan...

Hampir ga pernah liat pilem n sinetron,males aja critanya itu2 aja, ga ada kreatifitasnya, hanya cari untung saja tanpa memikirkan kualitas

Newsoul mengatakan...

Ya kita bisa kok membuat sesuatu yang tidak klise, dimana saja, bahkan di blogosphere ini, kalau kita mau. Ini tulian tentang klise yang tidak klise, mantap. Nice posting.

rayearth2601 mengatakan...

hmm, rating yang jadi tujuan utamanya sih

suwung mengatakan...

biya murah dan rating naik itu yang mereka pikirkan bos

attayaya mengatakan...

susah membedakan klise film
dengan
film klise

Juliawan mengatakan...

klise itu kalau ga salah bahasa kiasan ya bro btw salam kenal ya bro and salam kenal semua